|
||
Depan Artikel Jadwal |
Mungkinkah Rupiah Stabil? Oleh: Hendra Teja BEBERAPA pekan lalu The Fed kembali mengumumkan kenaikan suku bunga dolar AS dari 1,25% menjadi 1,5%. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan nilai tukar dolar AS terhadap nilai mata uang dunia, termasuk rupiah. Nilai tukar rupiah pada 10 Agustus lalu masih bertengger di posisi Rp9.200 per dolar AS. Sementara asumsi kurs rupiah dalam APBN 2004 maupun RAPBN 2005 masing-masing ditetapkan sebesar Rp8.600 per dolar AS. Asumsi kurs tersebut bisa jadi tidak lagi valid, karena kurs rupiah diperkirakan akan melemah kembali. Apalagi saat ini harga minyak mentah telah mencapai angka US$40 per barel, jauh lebih tinggi dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2004 yaitu US$22 per barel, bahkan juga lebih tinggi dari asumsi RAPBN 2005, yaitu US$24 per barel. Menguatnya kurs dolar AS dan naiknya harga minyak dunia itu dapat bermuara pada melambatnya perekonomian nasional. Bank Indonesia (BI) sepertinya yakin bahwa kelebihan likuiditas merupakan faktor utama yang memperlemah rupiah. Karena itu BI melakukan kebijakan yang relatif baru untuk menyerap kelebihan likuiditas tersebut, dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) secara berjenjang. Memang kebijakan ini diperkirakan akan menambah likuiditas yang diserap oleh BI. Namun, di sisi perbankan penetapan GWM berjenjang ini akan meningkatkan credit crunch (kegagalan penyaluran kredit), sehingga loan to deposit ratio (LDR) perbankan diperkirakan akan susah menembus angka 50%. Hal ini mengingat peningkatan GWM kemungkinan akan dikompensasikan ke dalam kenaikan suku bunga kredit. Naiknya suku bunga kredit ini akan meningkatkan potensi non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah perbankan nasional. Bagi perusahaan, kebijakan ini akan meningkatkan biaya produksi perusahaan di saat terbatasnya kemampuan perusahaan dalam menaikkan harga jual. Selain itu, ada desakan dari beberapa kalangan untuk menaikkan suku bunga. Saat ini suku bunga SBI semakin kurang memberikan yield (imbal hasil) yang menarik investor, sehingga dikhawatirkan akan terjadi pelarian modal untuk memburu aset-aset dalam dolar AS yang kemudian akan berimbas kepada melemahnya rupiah. Padahal, jika suku bunga dinaikkan, hanya akan menguntungkan investor yang berinvestasi dalam jangka pendek (yang berspekulasi), sedangkan secara keseluruhan kenaikan suku bunga akan merugikan pertumbuhan ekonomi nasional mengingat kenaikan bunga SBI akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan yang kemudian akan berimbas kepada kenaikan suku bunga kredit. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkuat atau stabilisasi nilai tukar rupiah. Pertama, meningkatkan surplus neraca pembayaran. Seperti kita ketahui bahwa sebenarnya (di luar spekulasi) pelemahan dan penguatan sebuah mata uang menunjukkan baik buruknya kinerja perekonomian suatu negara. Dalam hal ini bisa dicerminkan dari surplus atau defisitnya neraca pembayaran. Jika neraca pembayaran surplus, berarti terdapat kelebihan permintaan terhadap rupiah, konsekuensinya nilai rupiah menguat dan sebaliknya jika neraca pembayaran mengalami defisit. Neraca pembayaran kita terdiri dari neraca perdagangan (current account) dan neraca modal (capital account). Untuk itu pemerintah harus melakukan berbagai kebijakan dalam meningkatkan surplus neraca perdagangan (terutama dengan negara tujuan dagang utama seperti AS, Jepang, dan lain-lain). Pemerintah juga harus berusaha meningkatkan surplus capital account melalui masuknya foreign direct investment dari berbagai negara untuk melakukan investasi di Indonesia. Namun harus diperhatikan bahwa yang diutamakan adalah investasi jangka panjang, bukan investasi portofolio yang hanya investasi untuk keperluan spekulasi. Kedua, melakukan diversifikasi mata uang. Mulai saat ini kita harus mulai mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap dolar AS dan mulai berpaling ke beberapa mata uang dunia lainnya. Misalnya dalam melakukan transaksi perdagangan internasional sebaiknya kita mulai melakukan transaksi tersebut melalui mata uang negara masing-masing atau mata uang ketiga (selain dolar AS, seperti euro atau yen), mengundang berbagai negara asing untuk menanamkan modalnya dalam bentuk mata uang negara masing-masing. Di tambah lagi, pemerintah harus berusaha mendiversifikasi sumber utang luar negeri, dan mengurangi ketergantungan terhadap utang yang berdenominasi mata uang kuat dunia terutama dolar AS, dalam hal ini negara-negara Timur Tengah dapat dijadikan salah satu sumber utang alternatif bagi pemerintah. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan dan dominasi mata uang tertentu (terutama dolar) terhadap mata uang lain termasuk rupiah. Ketiga menerapkan pajak Tobin (Tobin Tax). Saat ini faktor spekulasi berperan sangat besar dalam menentukan naik turunnya nilai rupiah, bahkan kekuatan fundamental ekonomi suatu negara juga bisa dikalahkan jika para spekulan bepersepsi negatif terhadap (mata uang) suatu negara. Oleh karena itu, pajak Tobin cukup tepat digunakan untuk memperkecil fluktuasi pergerakan nilai mata uang. Pada pajak Tobin setiap konversi mata uang dolar AS ke rupiah atau sebaliknya, pemerintah mengenakan fee dalam persentase tertentu (anggap saja 0,1%). Besarnya fee ini bagi pelaku bisnis (nonspekulan) cukup terjangkau, namun bagi spekulan fee ini bisa menjadi besar (berlipat ganda) tergantung berapa sering dia mengonversikan uangnya. Hal ini akan memperkecil margin para spekulan dan mengurangi minat spekulan untuk melakukan spekulasi terhadap mata uang. Dari sisi pemerintah, pajak Tobin akan meningkatkan pendapatan pemerintah. Keempat, pembentukan mata uang tunggal. Jika terbentuknya mata uang tunggal terjadi, rupiah tidak akan berlaku lagi. Namun, hal ini harus dipertimbangkan dengan seksama jika ingin adanya kestabilan dalam nilai mata uang. Kita bisa belajar dari kasus euro yang saat ini telah menjadi pesaing utama bagi dolar AS. Hal ini tidak mengherankan mengingat kapasitas perekonomian negara-negara euro merupakan kekuatan utama yang dapat membendung dominasi AS terhadap perekonomian dunia. Belajar dari kasus euro itu, maka Indonesia harus memelopori terbentuknya suatu kawasan ekonomi seperti layaknya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Dalam hal ini kawasan Asia Tenggara relatif dapat dipertimbangkan untuk mengikuti jejak MEE. Dengan total penduduk 500 juta jiwa, kawasan ini cukup besar pengaruhnya terhadap perekonomian negara. Kawasan lain yang dapat dipertimbangkan untuk mengikuti jejak MEE bagi Indonesia adalah kawasan yang meliputi negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Jika kawasan ini bisa bersatu, maka dapat menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi dunia selain AS dan MEE. Jika semua hal itu dilaksanakan dengan cermat, nilai mata uang kita akan lebih kuat dan stabil dari sebelumnya. Penulis adalah Analis Community for Economic Enlightenment (COMMENT) Dimuat di Media Indonesia, 25 Agustus 2004 |
|