|
||
Depan Artikel Jadwal |
Bank Nasional di Tengah Persaingan Global Oleh: Hendra Teja DALAM beberapa tahun ini bank-bank asing atau lembaga keuangan asing sangat gencar melakukan ekspansi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari begitu tingginya minat mereka untuk membuka cabang di Indonesia seperti HSBC, ABN Ambro, Standard Chartered, Citibank, dan lain-lain; atau dengan membeli bank-bank nasional melalui proses divestasi baik yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN) maupun melalui penggantinya, yaitu PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Bank yang selama ini berhasil dijual kepada pihak asing di antaranya adalah Bank Central Asia, Bank Danamon, Bank Niaga, dan Bank Internasional Indonesia, dan yang teranyar adalah proses divestasi Bank Permata yang saat ini telah menjaring lima konsorsium yang semuanya adalah investor asing. Kondisi tersebut membuktikan bahwa sektor keuangan di Indonesia sangat menarik bagi mereka, terutama bank asing dari negeri jiran (Singapura dan Malaysia). Lalu, bagaimana posisi perbankan nasional di era globalisasi ini? Beberapa waktu lalu Biro Riset Info Bank menerbitkan 200 bank terbesar di Asia Tenggara (Asteng) berdasarkan aset 2003. Dari 200 bank terbesar itu, Indonesia menyumbang 104 bank, Filipina 27 bank, Malaysia 26 bank, Vietnam 17 bank, Thailand 14 bank, Singapura tujuh bank, Myanmar dua bank, dan Kamboja, Laos, serta Brunei masing-masing satu bank. Walaupun Indonesia menyumbang 104 bank dari 200 bank terbesar di Asteng, tingkat kekuatan persaingan perbankkan Indonesia relatif rentan untuk bersaing di tingkat Asteng (terutama melawan bank dari Singapura) apalagi di tingkat dunia. Hal ini dikarenakan mayoritas bank-bank di Indonesia beraset relatif kecil. Kondisi itu dapat dilihat dari posisi 10 bank terbesar di Asteng, di mana Indonesia hanya menempati posisi keenam melalui Bank Mandiri. Bandingkan dengan Singapura yang berhasil menempatkan empat banknya di posisi pertama sampai ketiga (yaitu United Overseas Bank Ltd (UOB), DBS Bank, dan Overseas Chinese Banking Corporation/OCBD). Sedangkan di posisi ketujuh terdapat Sumitomo Mitsui Banking Corporation Branch. Malaysia berhasil menempati posisi keempat (Maybank) dan kesepuluh (Bumi Putera Bank Bhd). Sementara Thailand berhasil menempatkan tiga banknya, yaitu di posisi kelima (Bangkok Bank Public Company Ltd), posisi ketujuh (Krung Thai Bank Public Company Ltd), dan posisi kesembilan (Kasikornbank Public Company Ltd). Bahkan yang sangat mengenaskan perbandingan antara aset bank berperingkat satu (UOB Ltd) adalah 1.200 kali lipat dari aset bank peringkat ke-200 (Bank Bengkulu) (sumber: Biro Riset Info Bank, agustus 2004). Ditambah lagi, dari 104 bank nasional yang berada dalam daftar 200 besar, 70 bank berada pada posisi di atas 100 bank terbesar. Ini sekali lagi membuktikan betapa lemahnya kondisi perbankkan nasional kita. Oleh karena itu, konsep Arsitektur Perbankkan Indonesia (API) merupakan suatu terobosan yang cukup baik. Jika kita lihat berdasarkan API, dari 136 bank umum yang ada di Indonesia, tidak ada satu pun yang masuk dalam kriteria bank internasional (bank yang bermodal di atas Rp50 triliun), sedangkan bank yang masuk skala nasional (modal antara Rp10 triliun - Rp50 triliun) hanya tiga bank yaitu Bank Mandiri, BCA dan BNI. Selebihnya 81 bank fokus (modal Rp100 miliar - Rp10 triliun) dan 52 bank dengan kegiatan usaha terbatas (modal kurang dari Rp100 miliar). Mau tidak mau, kondisi ini menjadi pendorong dari bank-bank umum untuk meningkatkan kapasitas modalnya, baik melalui suntikan modal dari pemilik, maupun merger dengan bank lain. Namun sayangnya, ketentuan modal disetor yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sangat ringan yaitu Rp100 miliar sampai 2010. Bandingkan dengan ketentuan modal minimum di Singapura sebesar Rp7 triliun, Malaysia dan Thailand sekitar Rp4 triliun, dan Korsel Rp1 triliun. Dalam hal ini BI harus menerapkan ketentuan modal disetor yang jauh lebih besar dari yang berlaku saat ini, menjadi minimum Rp500 miliar. Hal ini diperlukan untuk memaksa bank-bank kecil melakukan merger demi memperkuat struktur permodalannya. Memang, suka atau tidak suka merger hampir merupakan sebuah keharusan bagi perbankan nasional jika ingin eksis di kancah global. Dengan melakukan merger, suatu bank akan semakin mampu bersaing mengingat struktur permodalannya semakin besar. Proses merger yang tengah dilakukan oleh Bank CIC Tbk (peringkat 85), Bank Pikko (peringkat 153) dan Bank Danpac (peringkat 159) merupakan angin segar bagi perbankkan nasional. Karena merger ini merupakan yang pertama dan berlangsung alamiah. Jika proses merger ini berhasil, bank hasil merger itu akan menjadi bank berperingkat 75, yang tentu saja akan lebih kompetitif dalam persaingan dibandingkan sebelum merger. Salah satu contoh keberhasilan merger adalah Bank Mandiri yang kini menjadi bank terkemuka di Indonesia menyalip BCA, BNI dan Danamon. Dan yang terakhir adalah keberhasilan dari merger lima bank menjadi Bank Permata yang mampu bersaing dengan bank-bank besar di Indonesia. Padahal sebelum merger lima bank anggota merupakan bank papan menengah dan papan bawah yang relatif susah bersaing dengan bank-bank besar lainnya Selain itu bank-bank umum yang juga sangat potensial untuk menjadi kekuatan baru jika dilakukan merger adalah bank-bank daerah, mengingat jumlah bank daerah saat ini adalah 26 bank (25 bank masuk 200 besar), sebagai contoh jika delapan bank daerah di Sumatra (BPD Aceh, Sumut, Nagari, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu) bergabung akan menghasilkan aset sekitar US$2,099 miliar dan modal sekitar US$200 juta. Ini berarti bank pascamerger tersebut --berdasarkan aset-- akan bertengger di peringkat 56 di Asteng dan peringkat 13 di Indonesia yang berarti mengalahkan Bank Bukopin baik dari sisi aset maupun modal. Apalagi jika 25 BPD yang termasuk dalam daftar 200 bank terbesar di Asteng melakukan merger akan menghasilkan aset sekitar USD7,990 miliar dan modal sekitar US$770 juta. Ini berarti bank hasil merger dari 25 BPD tersebut akan berada pada peringkat 23 di Asteng dan peringkat 5 di Indonesia yang berarti berada di atas Bank Danamon, namun masih berada di bawah BRI. Namun, jika bank hasil merger ini terbentuk, akan menjadi pesaing utama BRI, mengingat mayoritas nasabah yang digarap relatif sama. Apalagi penyebarannya diperkirakan akan lebih luas dibandingkan dengan BRI. Dengan modal sekitar US$770 juta, bank baru ini bisa mulai menggarap sektor korporasi yang selama ini terhambat dikarenakan keterbatasan modal. Dengan kata lain, merger ini jika berhasil akan sangat meningkatkan tingkat kompetisi perbankan di kancah nasional dan kancah Asteng. Walaupun demikian, penulis menyadari relatif jauh lebih sulit untuk melakukan merger antar BPD dibanding dengan melakukan merger antar bank pemerintah (pusat), mengingat kepemilikan BPD sangat tersebar (dimiliki oleh 26 provinsi) sehingga kerumitan dan konflik yang akan terjadi tentu jauh lebih besar. Oleh karena itu, semuanya kembali kepada masing-masing pemda. Oleh karena itu, agar tingkat kompetisi bank nasional dapat bersaing minimal di tingkat Asteng, BI perlu mendorong proses merger dengan membuat berbagai macam regulasi. Salah satunya seperti peningkatan jumlah modal yang disetor tidak hanya Rp100 miliar kalau perlu Rp500 miliar atau bahkan Rp1 triliun. Karena jika tidak ada 'pemaksaan' maka proses merger akan sangat lambat untuk terealisasi. Jumlah bank yang lebih sedikit namun bergigi, lebih baik daripada banyak bank namun tidak bergigi. Selain itu jumlah bank yang sedikit akan semakin memudahkan BI untuk melakukan pengawasan. *** Penulis adalah Analis Community for Economic Enlightenment (COMMENT) Dimuat di Media Indonesia, 29 September 2004 |
|